Tangkuban Perahu




Gunung tangkuban Perahu terletak sekitar 30 km di utara Kota Bandung. Gunung ini menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Jawa Barat. Lingkungan alamnya yang sejuk, dan sumber mata air panas di kaki-kaki gunungnya. Deretan kawah yang memanjang, menjadi daya tarik tersendiri.
Legenda tentang terjadinya Gunung Tangkubanparahu sangat dikenal di Jawa Barat, disebut pula sebagai asal muasal terjadinya Talaga Bandung atau dongeng Sangkuriang. Legenda ini disusun dalam bentuk sastra lisan yang didalamnya mengandung lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa,bencana,asal muasal, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. 
Legenda Sangkuriang telah terkenal di akhir abad ke-15. Hal ini disebutkan dalam catatan perjalanan Pangeran Bujangga Manik, seorang pangeran muda kerajaan Sunda dari Istana Pakuan (Bogor sekarang), menjelajahi Pulau Jawa dengan berjalan kaki seorang diri. Catatan yang tertuang dalam lembaran lontar ini, sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford Inggris sejak tahun 1627



Ringkasan Cerita Legenda Sangkuriang
Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor, burung tembey **** hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik.

Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG.
Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Maka jadilah si Tumang suami Dayang Sumbi.Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG.

Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu **** betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka. Sangkuriang diusir dari rumahnya,kemudian ia pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.

Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG.

Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG). (Hidayat Suryalaga dalam Sunda.Net.Com – diakses tanggal 18 Mei 2007)Pada versi lain diceritakan bahwa sisa kayu yang ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sangkuriang berubah menjadi Gunung Bukit Tunggul,s ebelah timur Gunung Tangkuban Parahu (Tunggul, Bahasa Sunda: yang berarti pangkal kayu), sementara daun-daunnya menjadi Gunung Burangrang (berasal dari Bahasa Sunda yang berarti berguguran),sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Sementara Dayang Sumbi diceritakan dikejar Sangkuriang hingga akhirnya ia terjun ke kawah Gunung Tangkuban Perahu, sehingga kawahnya disebut Kawah ratu, versi yang lebih tragis, Dayang Sumbi bunuh diri dengan menggunakan kujang.

Arti Legenda Sangkuriang bagi Masyarakat Sunda Dulu dan SekarangCerita Sangkuriang adalah legenda yang asalnya disajikan sebagai 125 cerita pantun. Di Jawa Barat cerita pantun umumnya menceritakan tentang putra-putri kerajaan. Dalam cerita pantun memang sering didongengkan hal-hal yang tidak masuk akal. Namun sebenarnya hal tersebut adalah suatu perlambang, bahkan mungkin suatu sindiran.Kebiasaan para pangeran yang bertualang cinta ke daerah-daerah sekitar kerajaan, disindir oleh penyair pantun dengan metafora buang air kecil sembarangan . Rakyat kecil digambarkan sebagai binatang, seperti **** hutan Wayungyang atau anjing Si Tumang.Disisi lain sang penyair dalam cerita ini, melaporkan peristiwa geologis yang terjadi sekitar 125000 tahun yang lalu. Suatu catatan dan hasil pengamatan luar biasa. Letusan gunung api dahsyat, mengalirnya produk letusan berupa lahar yang kemudian menyumbat Sungai Citarum, digambarkan dengan baik. Sang penyair melaporkan peristiwa alam dan sekaligus menyindir para bangsawan dalam sajian cerita pantun yang memikat.

Peristiwa alam ini disaksikan manusia Bandung Purba jaman dulu. Mungkin dari sinilah awal dari kegiatan wisata yang pertama kali mereka lakukan.Jadi, jika kita rangkumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Cerita Sangkuriang ketika itu adalah : kritik sosial pujangga terhadap kebiasaan para keturunan raja bertualang cinta, nilai pengetahuan masyarakat purba tentang kejadian alam waktu itu.Bagi masyarakat Sunda zaman sekarang Cerita Sangkuriang merupakan cerita yang mencerminkan nilai–nilai kearifan pandangan hidup masyarakat Sunda. Kearifan yang dibungkus dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam melayari kehidupannya baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transcendental (ruhi).Berikut saya sajikan ringkasan alur legenda dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan sunda yang terkandung di dalamnya menurut seorang budayawan sunda, Hidayat Suryalaga.Legenda atau Sasakala Gunung Tangkubanparahu dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (= Sungging Perbangkara) bagi manusia yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan untuk menemukan jati diri kemanusiaannya(**** Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (= Danghyang Sumbi, Rarasati); tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (= taropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (= digagahi si Tumang) dan akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (= Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (= Danghyang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki.

Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (= kepala Sangkuriang dipukul). Tentu saja kesombongannya pula yang mempengaruhi Sang Ego untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Keangkuhan sang ego yang telah lelah mencari ilmu dengan mengelilingi seantero jagat, ternyata kembali ke titik awal kehidupannya. Akhirnya menemukan Sang Nurani yang secara sadar atau pun tidak tetap dicarinya (= Pertemuan Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi). Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego (= Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan oleh Sang Ego. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego (= Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency - silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (= Talaga Bandung) yang berasal dari kumpulan manusia yang bermacam corak ragam perangainya (= Citarum). Keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego sendiri(pembuatanperahu).

Keberadaan Sang Ego itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (= Bukit Tunggul, pohon sajaratun) yang berasal sejak dari awal keberadaannya (= Timur, tempat awal terbit kehidupan) dan Sang Ego pun pada akhirnya akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yad. dan semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (= gunung Burangrang). Betapa mengenaskannya, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego dengan Sang Nurani yang tercerahkan ( = hampir terjadinya perkawinan antara Sangkuriang dengan Danghyang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (= Bo’eh rarang = kain kafan).

Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego tidak lain hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”, maka ditendangnya keegoisan dirinya jadilah seonggok manusia yang tengah tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (= Gunung Tangkubanparahu). Walau demikian lantaran masih merasa penasaran dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan (= Danghyang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego dengan Sang Nurani, tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan kini hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego ( = bunga Jaksi).

Akhir kisah dari Sang Ego (=Sangkuriang) yaitu datangnya kesadaran dengan berakhirnya kepongahan hawa nafsunya (=Ujungberung); dengan kesadarannya pula, dicabut sumbat dominasi keangkuhan (= gunung Manglayang), melalui proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (= Sanghyang Tikoro =tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) serta memperhatikan dan menjaga dengan seksama makanan yang masuk ke dalam lambungnya yaitu makanan yang halal dan bersih (=Sanghyang Tikoro = kerongkongan).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar